Setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila, tanggal 1 Oktober, saya selalu kangen dengan Pak De, panggilan untuk Pak A Dahlan Ranuwihardjo, mantan Ketum PB HMI 1951-1953, Ketua Dewan Pertimbangan dan Penasehat PB HMI 1963-1966. Guru, ayahanda, dan kawan berdebat.

Pak Dahlan adalah pelaku sejarah agar HMI tidak dibubarkan Presiden Soekarno. Saat itu, Mas Sulastomo (Ketum PB HMI) sedang menjalankan tugas di Aceh untuk praktik sebagai calon dokter. Lalu diangkatlah Munajat Aminarto sebagai Pejabat Ketua Umum PB HMI. Sekjen PB HMI tetap, pak Mar’ie Muhammad. Praktis, yang “banyak” terlibat adalah Pak Dahlan dan senior lainnya, misalnya Pak Ahmad Tirto Sudiro, Pak Rajab Batubara, Pak Sanusi, dan menteri Roeslan Abdulgani.

Hasil Pemilu 1955 dan Pengaruh PKI

Di masa tahun 1960-an, konflik politik dan pertarungan ideologi semakin tajam. Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di hasil Pemilu 1955 adalah partai politik pemenang nomor 4 di DPR dengan suara 16,36% (39 kursi) dan di Badan Konstituante dengan suara 16.47% (80 kursi) setelah PNI, Masyumi, dan Partai NU.

Meskipun cuma nomor empat, PKI mampu merebut hati Soekarno. Dekat dan melekat. PKI diasumsikan mampu mempengaruhi proses penetapan kebijakan negara melalui Presiden Soekarno.

Eksperimentasi pemerintahan Presiden Sukarno menjadi celah bagi PKI untuk eksis dan membesar. Soekarno menetapkan kebijakan Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol Usdek) sebagai haluan negara.

Lalu menggabungkan kekuatan faham Nasionalisme, Agama, Nasionalisme (Nasakom) dalam pemerintahan.

Dan, menggalang kekuatan negara berkembang yang membuat poros lima negara : Jakarta, Phnom Penh, Hanoi, Pyongyang, dan Peking. Membangun kekuatan Nefos (New Emerging Forces) tahun 1962 sebagai antitesa melawan Poros Oldnefos, yaitu kekuatan negara maju yang berwatak imperialis.

Grand Design PKI

PKI itu nyata berkuasa. Grand design PKI menguasai Indonesia, salah satunya adalah dengan meluluh-lantakkan kekuatan (politik) Islam. Bangsa Indonesia yang relijius, harus dibabat habis dari organisasinya. Menjadi porak-poranda, hancur dari dalam. PKI dan underbownya, CGMI, Lekra, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan organisasi setujuan: Baperki, dan lainnya, tiada henti melakukan agitasi propaganda membangun opini untuk membubarkan HMI.

Penghancuran di Level Partai Politik Islam

Berdasarkan keputusan Presiden Nomor 200/1960, tanggal 17 Agustus 1960 Partai Masyumi harus membubarkan diri. Kalau tidak, Partai Masyumi akan diumumkan sebagai ‘partai terlarang’. Alasannya petinggi Masyumi terlibat pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/ Permesta) di Sumatera Barat. Lalu, Partai Masyumi membubarkan diri.

Penghancuran di Level Pemuda Islam

Dengan Kepres Nomor 139/1963, tanggal 10 Juni 1963, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dinyatakan bubar. Alasannya karena terlibat pengeboman presiden di Cikini, 30 November 1957 dan peristiwa penembakan presiden pada saat sholat Idul Adha di lapangan Ikada, 1962. Lalu, GPII bubar.

Penghancuran di Level Pelajar Islam

Pelajar Islam Indonesia (PII) tidak lepas dari target gerpol PKI dan anteknya untuk dibubarkan. PII pecah (dipecah) dua: PII Menteng dan PII jalan Bungah, adalah bagian dari strategi untuk mengantisipasi jika PII Menteng dibubarkan, masih ada PII jalan Bungah. Para pengurus tidak memahami bahwa pecahnya PII adalah bagian dari strategi politik semata. Ada yang berkelahi fisik sesama pengurus.

Penghancuran di Level Mahasiswa Islam

PKI nyaris berhasil menghancurkan kekuatan politik Islam. Di tingkat partai politik dan pemuda Islam sudah berhasil. PII konflik internal. Nah, tinggal penghancuran di tingkat mahasiswa dengan sasaran: HMI.

Banyak peristiwa dan opini untuk mendesak agar Soekarno membubarkan HMI. Dari peristiwa Utrect di Universitas Brawijaya Cabang Jember, yang melarang HMI hidup di kampus.

Lalu, CGMI dan kawan seideologi mengeluarkan HMI dari anggota Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Islam (PPMI). Mereka berhasil. Oktober 1964 HMI diskors dari keanggotaan PPMI. Hal ini berlanjut pada upaya terus untuk pelarangan kader HMI di Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) agar HMI tidak dapat menjabat di organisasi intra kampus, seperti di UI, ITB, UGM, IPB, Unpad, Unhas, USU, dan lainnya. Semua tantangan ini dihadapi pantang mundur oleh kader HMI.

HMI juga difitnah sebagai anak kandung Masyumi, Islam radikal, menolak Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi (Pembesrev), anti revolusi, antek imperialis, dan sekeranjang fitnah agar Presiden Soekarno membubarkan HMI, seperti Partai Masyumi dan GPII yang telah diperintah untuk bubar.

Menghadapi situasi gawat ini, PB HMI membuka jalan ke istana. Melakukan komunikasi politik untuk memberikan informasi banding atas fitnah PKI ke Soekarno. Salah satunya melalui menteri Pak Roeslan Abdulgani, Sucipto, dan menteri Syarif Tayeb.

Sampai kemudian Presiden Soekarno bersedia menjadi instruktur memberikan materi di kegiatan perkaderan HMI meningkatkan militansi yang progresif revolusioner di seluruh Indonesia. Dan HMI mengakui Presiden Soekarno sebagai Pembesrev. Tapi sebagai kompromi politiknya, HMI Cabang Jember dibekukan akibat kasus Utrect. Pak Asri Harahap (ketum cabang) marah menyalahkan PB HMI. Ya itulah kompromi politik. Mau apa lagi.

Aksi Solidaritas Bela HMI

Solidaritas membela HMI agar jangan dibubarkan datang dari PII dan Generasi Muda Islam (Gemuis) yang dikomandani GP Anshor, Pak Yusuf Hasyim. “Langkahi mayatku sebelum membubarkan HMI” dari kader PII menjadi energi yang mengobarkan semangat perjuangan kader HMI. Dari PMKRI juga membela HMI.

Support moral dan politik datang juga dari petinggi ABRI/ Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani. Bahkan kader HMI dilatih fisik dan teknik menggunakan senjata. Pak Yani mengatakan, “Jika HMI hari ini diganyang oleh PKI, maka tidak mustahil, besok atau lusa PKI akan mengganyang Angkatan Darat”.

Penutupan Kongres ke-3 CGMI di Istora Senayan, 29 September 1965

Inilah puncak skenario pengganyangan HMI oleh CGMI, PKI, dan antek-anteknya. DN Aidit, ketua politbiro PKI berpidato provokatif dan memfitnah HMI.

“Kalau kalian kader CGMI tidak bisa membubarkan HMI, kalian pakai sarung saja !”, kata Aidit.

Istora seakan runtuh. Gemuruh sorak-sorai menggema sambil meneriakkan yel-yel “Bubarkan HMI”.

Saat Presiden Soekarno akan berpidato, PKI berharap agar ada instruksi presiden untuk membubarkan HMI.

Dalam penggalan pidatonya, Soekarno berkata, “Jika HMI kontra revolusioner, maka HMI akan saya bubarkan”.

Istora mau runtuh. Penuh pekik dan suara lantang meneriakkan bubarkan HMI. Berulang-ulang.

Lalu Soekarno melanjutkan pidatonya lagi, “Jika CGMI atau PKI kontra revolusioner, maka juga akan saya bubarkan!”.

Istora Terdiam, Hening

Akhirnya, strategi PKI mendesak Soekarno agar membubarkan HMI gagal total.

Itulah sebagian isi buku “Mengapa Bung Karno Tidak Membubarkan HMI?” Oleh Pak Dahlan, dan saya sebagai editor buku (dibantu Alfan Alfian dan Sa’dun).

Roeslan Abdulgani mengatakan bahwa buku ini merupakan historiografi, yang mungkin saja bersifat subyektif dari penulis. Tapi hal itu penting untuk membuka mozaik sejarah dari semua sumber.

Buku ini disusun dari semasa Pak Dahlan masih hidup hingga wafat. Belum sempat diterbitkan, Pak Dahlan wafat. Lalu kami mengundang para senior mengadakan rapat untuk membahas buku ini. Ada Mar’ie Muhammad, Sulastomo, Yusuf Syakir, Solikhin, Ahmad Nurhani, Sularso, Harun Kamil, Alfan Alfian, Sa’dun.

Kesimpulannya, buku ini diterbitkan. Tapi Bab I tentang Pertanggungjawaban Politik adalah Pertanggungjawaban Sejarah, dikeluarkan dari buku karena menyangkut peristiwa politik nasional yang mengungkap tokoh-tokoh yang telah wafat. Misalnya tentang Oie Tjoe Tat, Zulkifli Lubis, tokoh-tokoh Masyumi, PSi, PNI, dan lainnya. Biarlah mereka tenang di alam keabadian.

Semoga Pak De Dahlan selalu damai dan berbahagia bersama kekasihnya di surga.

(rfs/zak)