JAKARTA – Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi menilai sistem proporsional terbuka dalam pemilu memiliki banyak sisi positif. Satu di antaranya, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol.

Menurut Yoga, setidaknya ada lima hal positif dari sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam pemilu. Pertama, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol.

Secara empiris, lanjutnya, jika sistem proporsional tertutup atau berdasarkan nomor urut diterapkan, siapa yang dekat pimpinan parpol akan mendapatkan nomor urut kecil. “Meskipun parpol melakukan rekrutmen secara transparan dan objektif, namun unsur subjektivitas pimpinan selaku policy maker, dalam skala tertentu akan mengalahkan unsur objektivitas,” ujar Yoga kepada SINDOnews, Sabtu (14/1/2023).

Kedua, sistem suara terbanyak tidak akan menghilangkan kedaulatan parpol. Hal ini karena yang merekrut, menyusun, dan mendaftarkan caleg ke KPU adalah parpol. Tidak bisa orang per orang karena peserta pemilu legislatif adalah partai politik. “Tentunya parpol akan mengukur caleg tersebut bagaimana kadar dan pemahaman ideologi partainya, basis massa di dapil, kinerja, dan sebagainya,” katanya.

Jika terpilih, lanjut Yoga, siapa pun orangnya, sudah diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, untuk wajib tunduk, patuh, dan taat pada kebijakan parpol. Parpol memiliki otoritas atau kewenangan mutlak untuk melakukan evaluasi dan pergantian antar waktu jika anggota Dewannya wanprestasi atau melanggar kebijakan parpol. “Setiap anggota Dewan pasti akan berbicara sesuai dengan kebijakan parpolnya. Tidak dapat membawa kepentingan pribadi yang berbeda dengan platform dan kebijakan parpolnya.”

Ketiga, sistem suara terbanyak akan mendekatkan caleg terpilih dengan konstituennya. Konstituen dapat lebih mudah melakukan komunikasi dan menyuarakan aspirasi serta kepentingannya untuk diperjuangkan oleh anggota Dewan menjadi kebijakan negara dan direalisasikan dalam bentuk program-program di masyarakat.

“Dengan kata lain tentu juga akan semakin mendekatkan parpol dengan rakyat yang diwakilinya di lembaga legislatif melalui caleg terpilih. Hal ini sama sekali tidak mengganggu atau mendegradasi kedaulatan parpol dalam sistem demokrasi sebab caleg terpilih itu dicalonkan oleh parpol. Justru sebaliknya, malah akan semakin memperkuat kehadiran dan eksistensi parpol di tengah-tengah masyarakat,” jelas mantan anggota Pansus RUU Pemilu tersebut.

Keempat, sistem suara terbanyak lebih bersifat adil dibanding sistem nomor urut. Siapa caleg yang bekerja lebih keras di dapil (daerah pemilihan) tentu akan mendapatkan suara lebih banyak. Memilih orang dalam pemilu adalah salah satu tonggak penting membangun kedaulatan rakyat. Rakyat menentukan sendiri siapa yang akan mewakili dirinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di lembaga legislatif sebagai Wakil Rakyat.

“Jika memakai sistem nomor urut, suara rakyat yang memilih caleg tidak penting dan tidak dihitung karena meskipun nomor urut satu kalah suara dengan caleg di nomor bawahnya, maka yang duduk di lembaga legislatif bukan caleg yang memperoleh suara terbanyak. Praktik ini bukan demi menjaga kedaulatan parpol, tetapi lebih pada hegemoni parpol yang mengelabui nilai kedaulatan rakyat di pemilu,” kata Yoga.

Kelima, tidak ada jaminan dan ukuran akademis bahwa sistem proporsional daftar tertutup berdasarkan nomor urut akan mengurangi dan atau menghilangkan praktik politik uang (money politic) dibandingkan sistem proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak. Praktik money politic itu bukan soal apa sistem pemilunya, tetapi karena soal kesulitan ekonomi rakyat, kesadaran politik rakyat dalam memaknai pemilu, pengawasan pelaksanaan pemilu oleh Bawaslu, lembaga pemantau, maupun oleh partisipasi masyarakat, serta penegakan aturan pemilu.

Juru Bicara DPP PAN menambahkan, partainya tidak bermaksud mempengaruhi mekanisme sidang majelis hakim konstitusi. Dia menegaskan, PAN menghormati mekanisme di internal Mahkamah Konstitusi (MK).

“PAN hanya mengingatkan bahwa MK mengabulkan gugatan untuk menerapkan sistem pemilu proposional daftar terbuka karena di putusan MK menyatakan sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat, jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif,” jelasnya.

Yoga menambahkan, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem nomor urut telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih. Begitulah salah satu kutipan amar putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008.

“Akhirnya, semua berpulang kepada MK. Apakah tetap konsisten dengan putusan MK tersebut atau ada alasan lain,” pungkasnya.

(zik)