PAN menyebut usul pemilu legislatif (Pileg) proporsional tertutup yang akan diusulkan PDI Perjuangan bukalah hal baru. PAN menilai wacana proporsional tertutup selalu memicu perdebatan.

“Perdebatan tentang penentuan caleg terpilih apakah memakai sistem proporsional daftar tertutup (nomor urut) ataukah proporsional daftar terbuka (suara terbanyak) sejak 2004 sampai sekarang masih ramai diperbincangkan. Masing-masing partai politik yang lolos parliamentary threshold 4% di Senayan terbagi dalam dua sikap: Setuju nomor urut dan tidak setuju. Masing-masing dengan argumentasi yang berbeda,” kata Wakil Ketua Umum Viva Yoga, saat dihubungi, Kamis (13/10/2022).

Yoga menyebut pernah dua kali menjadi anggota panitia khusus (Pansus) Revisi UU Pemilu di DPR RI. Menurutnya selalu ada perdebatan saat pembahasan di dua kubu.

“Materi perdebatan klasik oleh Pansus di samping tentang sistem penentuan caleg terpilih, juga tentang sistem pemilu, alokasi kursi per-dapil, metode penghitungan suara menjadi kursi, parliamentary threshold, dan presidential threshold,” katanya.

Dia menilai ada empat dasar pemikiran bagi partai yang setuju sistem proporsional tertutup. Seperti soal partai menjadi kuat hingga mencegah politik uang.

“Pertama, peserta pemilu legislatif adalah partai politik, bukan caleg. Maka partai politik memiliki hak otoritas untuk menentukan calegnya. Kedua, agar partai politik menjadi kuat, tidak terdistorsi oleh caleg terpilih, karena yang bersangkutan dicalonkan oleh partai politik, tidak atas nama pribadi caleg,” ucap Yoga.

“Ketiga, menghilangkan politik uang karena tidak ada proses kanibalisme di internal partai politik. Keempat, memperkuat sistem pemerintahan presidensial melalui penguatan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi,” ucapnya.

Namun, partai yang mendukung sistem proporsional terbuka punya beberapa pertimbangan. Dari soal menghilangkan nepotisme hingga mendekatkan caleg terpilih dengan masyarakat di daerah pemilihan (dapil) mereka.

“Namun, bagi partai politik yang tidak setuju nomor urut, tetapi setuju suara terbanyak, seperti PAN adalah pertama, menghilangkan unsur nepotisme di partai politik. Jangan sampai ada bias subyektif karena kedekatan dengan pimpinan partai untuk menempatkan orang-orang tertentu di nomor peci (nomor satu), dan orang yang berseberangan dalam hal kepentingan diberi nomor sepatu (nomor akhir);” kata Yoga.

“Kedua, membangun sistem keterpilihan secara adil. Siapa caleg yang bekerja keras maka hasilnya akan sesuai dengan perjuangannya di dapil, meski caleg tersebut nomor sepatu, karena mendapatkan suara terbanyak maka yang bersangkutan berhak atas kursi tersebut. Ketiga, mendekatkan caleg terpilih dengan konstituen karena telah terbentuk ikatan sehingga aspirasi masyarakat dengan cepat dapat tertampung dan diperjuangkan menjadi kebijakan,” katanya.