Oleh : Viva Yoga Mauladi
Wakil ketua Umum PAN
Anggota Pansus RUU Pemilu (2012 dan 2017) di DPR RI

Setiap kali pembahasan RUU Pemilu di Pansus di DPR RI, beberapa persoalan klasik yang krusial dibahas di antaranya tentang sistem pemilu, alokasi dan besaran kursi per dapil, parliamentary threshold, presidential threshold, dan metode penghitungan suara menjadi kursi. Pembahasan akan selalu berulang hebohnya karena di samping memperhatikan faktor kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang utama dan prioritas, juga ada celah untuk memasukkan faktor kepentingan subyektif partai politik (parpol).

Pembahasan di Pansus RUU Pemilu konfigurasinya bukan berdasarkan segmentasi partai koalisi pemerintah dan di luar pemerintah. Bukan itu. Tetapi berdasarkan kepentingan subyektif parpol yang telah memperoleh kursi besar (banyak) dengan partai politik menengah dan kecil kursinya di DPR RI.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008 telah menetapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak. Hal itu mengabulkan gugatan atas pasal 214 (a, b, c, d) UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang memakai sistem proposional daftar tertutup.

Saat ini MK menerima gugatan agar sistem pemilu dikembalikan lagi ke sistem proposional tertutup berdasarkan nomor urut, dengan beberapa alasan.

Dalam hal ini PAN tidak bermaksud mempengaruhi mekanisme sidang majelis hakim konstitusi. PAN menghormati mekanisme di internal MK.

PAN hanya mengingatkan bahwa MK mengabulkan gugatan untuk menerapkan sistem pemilu proposional daftar terbuka karena di putusan MK menyatakan sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat, jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem nomor urut telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

Begitulah salah satu kutipan amar putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008.

PAN dapat memahami ketika hakim Konstitusi bertanya kepada KPU tentang konsekuensi teknis dan beban kerja KPU lebih berat mana, apakah sistem proporsional tertutup berdasarkan nomor urut ataukah sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Lalu KPU menjawab lebih berat sistem proporsional daftar terbuka.

Mengapa? Karena semisal di pemilu 2019, KPU mengelola 2.593 dapil dengan disain surat suara sebanyak itu, karena nama calon legislatif berbeda-beda di setiap dapil. Sedangkan di sistem proporsional tertutup hanya satu disain surat suara saja untuk semua dapil karena tidak ada nama calegnya. Konsekuensinya beban hitung suara lebih ringan karena hanya menghitung suara partai saja, tanpa menghitung suara caleg.

Dalam konteks ini, PAN meminta kepada MK bahwa alasan dan argumentasi ini tidak dapat dibenarkan karena sistem pemilu proporsional daftar terbuka telah dilaksanakan sejak pemilu 2009, 2014, dan 2019. Dan bagi masyarakat pemilih sistem ini dapat diterima dengan baik. Menegakkan kedaulatan rakyat melalui pemilu tidaklah mudah dan ringan. Makanya dibentuk lembaga penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pemilu yang luber, jurdil, berkualitas, dan berintegritas. Sudah tiga kali pemilu memakai suara terbanyak rasanya cukup bagi KPU sekarang untuk lebih tangguh, handal, dan kuat karena memiliki pengalaman empiris agar dapat menyelenggarakan pemilu lebih baik dan berkualitas lagi.

Di samping itu beberapa hal positif bagi pembangunan demokrasi di Indonesia jika sistem pemilu proposional daftar terbuka adalah:

Pertama, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol. Secara empiris, siapa yang dekat pimpinan akan mendapatkan nomor urut kecil. Meskipun parpol melakukan rekruitmen secara transpran dan obyektif, namun unsur subyektivitas pimpinan selaku policy maker, dalam skala tertentu akan mengalahkan unsur obyektivitas.

Kedua, sistem suara terbanyak tidak akan menghilangkan kedaulatan parpol. Karena yang merekrut, menyusun, dan mendaftarkan caleg ke KPU adalah parpol. Tidak bisa orang perorang karena peserta pemilu legislatif adalah partai politik. Tentunya parpol akan mengukur caleg tersebut bagaimana kadar dan pemahaman ideologi partainya, basis massa di dapil, kinerja, dan sebagainya.

Jika terpilih, siapapun orangnya, sudah diatur di Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, untuk wajib tunduk, patuh, dan taat pada kebijakan parpol. Parpol memiliki otoritas atau kewenangan mutlak untuk melakukan evaluasi dan pergantian antar waktu jika anggota Dewannya wanprestasi atau melanggar kebijakan parpol. Setiap anggota Dewan pasti akan berbicara sesuai dengan kebijakan parpolnya. Tidak dapat membawa kepentingan pribadi yang berbeda dengan platform dan kebijakan parpolnya.

Ketiga, sistem suara terbanyak akan mendekatkan caleg terpilih dengan konstituennya. Konstituen dapat lebih mudah melakukan komunikasi dan menyuarakan aspirasi serta kepentingannya untuk diperjuangkan oleh anggota Dewan menjadi kebijakan negara dan direalisasikan dalam bentuk program-program di masyarakat. Dengan kata lain tentu juga akan semakin mendekatkan parpol dengan rakyat yang diwakilinya di lembaga legislatif melalui caleg terpilih. Hal ini sama sekali tidak mengganggu atau mendegradasi kedaulatan parpol dalam sistem demokrasi sebab caleg terpilih itu dicalonkan oleh parpol. Justru sebaliknya, malah akan semakin memperkuat kehadiran dan eksistensi parpol di tengah-tengah masyarakat.

Keempat, sistem suara terbanyak lebih bersifat adil dibanding sistem nomor urut. Siapa caleg yang bekerja lebih keras di dapil tentu akan mendapatkan suara lebih banyak. Memilih orang dalam pemilu adalah salah satu tonggak penting membangun kedaulatan rakyat. Rakyat menentukan sendiri siapa yang akan mewakili dirinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di lembaga legislatif sebagai Wakil Rakyat.

Jika memakai sistem nomor urut, suara rakyat yang memilih caleg tidak penting dan tidak dihitung karena meskipun nomor urut satu kalah suara dengan caleg di nomor bawahnya, maka yang duduk di lembaga legislatif bukan caleg yang memperoleh suara terbanyak. Praktek ini bukan demi menjaga kedaulatan parpol, tetapi lebih pada hegemoni parpol yang mengelabui nilai kedaulatan rakyat di pemilu.

Kelima, tidak ada jaminan dan ukuran akademis bahwa sistem proporsional daftar tertutup berdasarkan nomor urut akan mengurangi dan atau menghilangkan praktek politik uang (money politic) dibandingkan sistem proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak. Praktek money politic itu bukan soal apa sistem pemilunya, tetapi karena soal kesulitan ekonomi rakyat, kesadaran politik rakyat dalam memaknai pemilu, pengawasan pelaksanaan pemilu oleh Bawaslu, lembaga pemantau, maupun oleh partisipasi masyarakat, serta penegakkan aturan pemilu.

Akhirnya, semua berpulang kepada MK. Apakah tetap konsisten dengan putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008 atau ada alasan lain.